Page 3 of 3 FirstFirst 123
Results 41 to 45 of 45

Thread: Rahasia Peta Harta Karun

  1. #41
    Member baldy's Avatar
    Join Date
    Dec 2007
    Location
    KL, Malaysia
    Posts
    133

    Default

    Bahasa Malaysia but can read Kho Ping Ho without any problem since I understand a bit Hokkien as well

    If we continue like this I think Batman have to update his fanfic everyday LOL


    Edit: As predicted he does it again - update his fanfics
    Last edited by baldy; 04-30-09 at 04:38 PM.

  2. #42
    Banned aaren1's Avatar
    Join Date
    May 2009
    Posts
    22

    Default

    Nice! thanks for sharing.

  3. #43
    Junior Member
    Join Date
    Jun 2008
    Posts
    22

    Default Ch. 9

    Ch. 9
    Sementara itu di ibukota...
    ”Kurang ajar! Tim dua bisa kehilangan tawanan penting. Dari empat tim elit yang ada memang tim dua paling buruk kinerjanya. Makanya mereka hanya diberi tugas menjemput tawanan dan menghantar ke sini. Tim satu dapat menemukan lokasi tawanan dengan baik. Tim tiga dapat menangkap tawanan. Tim empat tugasnya menyusup ke dunia persilatan untuk mencari informasi. Dasar, mengawal pesakitan saja tidak bisa!”
    Pada saat orang itu marah-marah, terdengar ketukan pintu dan seorang thai-kam masuk membawa baki berisi makanan.
    ”Tuan menteri, silahkan diminum dulu sup ginsengnya.”
    ”Letakkan saja di meja. Aku sedang tidak berselera makan dan minum.”
    ”Tetapi Tuan, sup ini....”
    ”Kamu sudah bosan hidup ya?”
    ”Ya, Tuan. Permisi, Tuan.”
    Sambil menundukkan kepala thai-kam itu meletakkan baki makanan lalu menuju ke luar ruangan.
    ”Tunggu sebentar!”
    Dengan cepat thai-kam itu membalikkan badan, menunggu perintah.
    ”Kalau tim dua sudah kembali, suruh pimpinannya menghadap aku secepatnya.”
    ”Baik, tuan menteri.”
    ”Ya sudah, sana keluar.”
    ”Permisi tuan menteri.”
    Sang menteri kembali dalam kekesalannya. Dia berjalan berputa-putar dalam ruangan itu. Wajahnya masih merah padam. Berita tawanan yang hilang itu baru diterimanya setengah jam yang lalu, padahal sehari sebelumnya dia sudah merencanakan langkah berikutnya untuk mendapatkan harta karun keluarga Ciu.
    Perburuan peta harta itu sudah dimulainya sejak lima tahun yang lalu. Selama setahun pertama dia membentuk empat tim khusus yang diambil dari para jagoan istana. Kaisar sudah terbujuk oleh cerita-cerita tentang mustika-mustika indah yang dikumpulkan oleh Ciu Po Tin sehingga kaisar mengangkat dia sebagai menteri kekayaan negara. Dia diberikan kekuasaan untuk membentuk pasukan khusus dalam rangka perburuan harta karun tersebut. Dan memang pekerjaannya tidak sia-sia. Selama lima tahun ini dia sudah berhasil mendapatkan satu buah potongan peta dan melacak keberadaan keturunan dari Lui Pak. Tetapi tim dua gagal membawa gadis yang diyakini ada hubungannya dengan pendekar dari Utara itu. Makanya selama setengah jam itu dia sangat emosi.
    Ambisi harus dimiliki oleh manusia. Manusia tanpa ambisi tidak akan dapat melakukan hal-hal yang besar. Ambisi dapat menjadi pendorong untuk memaksimalkan energi yang dimiliki dalam mencapai tujuan. Ambisi ada yang baik dan juga ada yang buruk. Ambisi yang baik adalah ambisi yang berasal dari hati nurani dan selalu tidak merugikan orang lain.
    Contohnya adalah Wei Nan. Dia mempunyai ambisi untuk membantu orang lain. Karena ambisinya dilandaskan pada hati nurani yang bersih, makan sesulit apapun tantangannya dia akan tetap lakukan. Pernah pagi hari dia menolong satu keluarga yang dirampok di tengah perjalanan. Sore harinya membantu penduduk yang rumahnya terbakar. Setelah itu dia langsung melanjutkan perjalanan untuk menghairi pertemuan di biara Shaolin. Hari yang sangat melelahkan tetapi Wei Nan menjalaninya dengan sukacita.
    Berbeda dengan orang yang berambisi untuk ketenaran atau kekayaan. Karena kedua ambisi ini berhubungan erat dengan nafsu duniawi maka untuk mencapainya kadang-kadang sampai mengorbankan orang lain. Bisa material, nama, kehormatkan, bahkan nyawa orang lainpun menjadi tidak berarti dibandingkan dengan ambisinya. Seperti sang menteri kerajaan. Selama lima tahun berburu harta peninggalan keluarga Ciu entah berapa ribu nyawa manusia menjadi korban, puluhan desa dan pemukiman dibakar dan dihancurkan, kehormatan gadis-gadis dirampas, dan lain-lain perbuatan jahat dilakukan oleh pasukan khusus bentukkan sang menteri.
    Tiba-tiba terdengar ketukan pintu dari luar ruangan.
    ’Kurang ajar’, pikirnya dalam hati. ’Ada apa lagi ini? Tidak tahu orang lagi kesal. Mengganggu saja”.
    Tetapi dia agak takut juga kalau-kalau Raja yang memanggilnya.
    ”Masuk!”
    Pintu ruangan terbuka perlahan-lahan diiringi dengan masuknya pelayan yang tadi menghantarkan sup ginseng.
    ”Kamu lagi! Aku lagi tidak selera makan. Makanan yang tadi saja belum kujamah. Bawa saja keluar, buatmu juga boleh. Jangan tawarkan makanan lagi padaku”.
    ”Maaf Tuan mentri. Tadi Tuan mengatakan bahwa kalau tim dua sudah kembali ...”
    ”Mereka sudah kembali? Cepat bawa sini pimpinannya!”
    ”Baik Tuan. Segera laksanakan”.
    ”Sana pergi. Cepat!”
    ”Permisi Tuan mentri”.
    Pelayan itu segera berjalan meninggalkan ruangan. Beberapa saat kemudian terdengar kembali suara ketukan pintu.
    ”Masuk!”
    Pelayan itu masuk dan memberi hormat.
    ”Tuan mentri, Ji-ciangkun datang menghadap”.
    ”Suruh dia masuk!”
    ”Siap Tuan mentri”.
    Pelayan itu keluar. Kemudian masuklah seorang bertubuh tinggi besar, mengenakan baju Jendral tetapi wajahnya terlihat lesu. Dialah Ji-ciangkun yang merupakan pimpinan tim dua.
    ”Hormat pada Tuan mentri”.
    ”Sudah! Laporkan tugasmu sekarang juga!”
    ”Lapor Tuan mentri. Sesuai dengan informasi dari tim 4, kami langsung menuju sasaran dan berhasil menemukan target. Tempat tinggal target sudah dilenyapkan sesuai dengan peraturan pengambilan target”.
    ”Lalu, mana target tersebut? Aku akan mengintrogasi dia sekarang”.
    ”Disinilah letak permasalahannya Tuan mentri. Maafkan aku sebagai seorang jendral yang tidak berguna, tidak dapat memimpin anak buah dengan baik sehingga di tengah perjalanan target dapat direbut orang”.
    ”Tim dua adalah tim elite yang terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian silat lebih tinggi dari anggota-anggota tim lainnya. Kelompok manakah yang merebut target?”
    ”Bukan kelompok Tuan. Tetapi ...”
    ”Bukan kelompok? Maksudnya pasukanmu itu dikalahkan hanya oleh seorang saja? Ketua Shaolin saja tidak mampu melawan kalian”.
    ”Bukan terang-terangan Tuan. Pada saat kami lengah, diam-diam dia membebaskan tawanan dengan melumpuhkan 2 anggota yang berjaga malam”.
    ”Dasar manusia-manusia tidak berguna. Bawa kemari kedua penjaga bodoh itu!”
    “Mereka tidak dapat menemui Tuan mentri. Mereka ada di halaman depan menunggu Tuan”.
    “Hmm .... baiklah kalau begitu. Sebentar lagi aku akan keluar menemui mereka. Lalu tindak lanjutnya apa? Siapa yang berani merampas tahanan negara?”
    “Saya sudah mengirim berita kepada tim empat bahwa target telah direbut orang. Dugaan saya yang merampas itu tidak tahu kalau dia berhubungan dengan rencana besar Tuan mentri. Dia membebaskan target hanya karena dorongan hatinya. Kemungkinan besar dia adalah seorang pendekar petualang dari golongan putih. Dilihat dari ilmu dan caranya melumpuhkan kedua anak buahku, hanya ada sedikit sekali orang yang mampu melakukannya”.
    “Lalu siapa orangnya? Cepat katakan!”
    ”Ada 5 orang yang patut dicurigai. Pertama adalah ketua Shaolin, Yin Bing Hwesio. Kedua adalah ketua Butong, Thi Kong Tojin. Tetapi mereka berdua sudah lanjut usia. Kabar terakhir mengatakan bahwa mereka sedang menutup diri sejak sebulan yang lalu”.
    ”Ya... ya... ya... Kedua ketua perkumpulan itu pasti tidak mungkin lagi mencampuri urusan dunia persilatan. Murid-murid merekapun ilmunya tidak ada yang menonjol. Pasti bukan dari kalangan Shaolin atau Butong”.
    ”Yang ketiga adalah Tok kim ci (Jarum emas beracun) Li tayhiap. Seorang ahli senjata rahasia beracun. Tetapi dia tidak termasuk golongan putih maupun hitam. Sepak terjangnya misterius”.
    ”Tok kim ci Li Siong... Aku pernah mendengar namanya. Tetapi menurut mata-mata dia sedang berada di daerah selatan. Sudah lama tidak muncul di daerah pusat. Lanjutkan!”
    “Yang keempat adalah Ang I lihiap. Seorang pendekar wanita bermarga Yo. Saking misteriusnya, tidak ada seorangpun yang mengetahui nama dan usianya. Kabarnya dia adalah murid kesayangan dari Tok Ciang Moli, iblis wanita dari Tok Hoa to (pulau bunga beracun). Walaupun Yo lihiap murid kesayangan dari Tok Ciang Moli tetapi sepak terjangnya membela kebenaran walaupun kadang-kadang caranya tidak dapat diterima oleh golongan putih. Dan yang terakhir adalah pendekar tukang usil Pek I kiamhiap Hok Wei Nan. Dia terkenal selalu ikut campur bila ada sesuatu yang dianggap melanggar kebenaran. Dari kelima orang yang ilmu dan sepak terjangnya patut dicurigai, aku menempatkan Hok Wei Nan di urutan pertama”.
    ”Analisamu sesuai dengan pemikiranku. Memang sudah lama kudengar bahwa Pek I kiamhiap selalu ikut campur dalam berbagai masalah. Sering juga dia membantu kerajaan kalau ada kekacauan di kalangan rakyat yang ditimbulkan oleh golongan hitam. Seperti 10 tahun yang lalu partai sesat Eng Ciauw Pang merampok dan menjarah desa-desa disekitarnya, dia menggalang para pendekar golongan putih termasuk murid-murid Shaolin dan Butong untuk menumpasnya. Dialah Bulim Pangcu yang sesungguhnya. Kalau benar dia ikut campur dalam masalah ini, kita harus berhati-hati dalam membereskannya. Jangan sampai golongan putih bersatu membalas dendam pada kita.”
    ”Benar, Tuan mentri. Kerajaan jangan sampai bentrok dengan golongan putih. Mereka adalah kepanjangan tangan dari kita untuk menekan golongan hitam.”
    ”Baiklah, nanti aku akan mengirim kabar pada Si Ciangkun untuk menyelidiki keberadaan Hok Wei Nan.”
    ”Terima kasih, Tuan mentri.”
    ”Tunggu dulu, Ji Ciangkun. Urusan penyelidikan sudah beres, tetapi urusan tahanan yang hilang belum selesai. Sekarang antar aku melihat kedua anak buahmu itu.”
    ”Siap, laksanankan,Tuan!”
    Kedua orang itu berjalan ke luar ruangan menuju ke halaman depan. Sang mentri tersenyum puas melihat kepala kedua penjaga yang ceroboh itu dipancang di tiang. Kepalanya mengangguk-angguk sambil melihat ke arah Ji Ciangkun. Tetapi senyumnya itu tiap berlansdung lama. Senyuman puas perlahan-lahan berubah menjadi senyuman dingin. Mata sang Mentri berkilat-kilat seperti binatang buas yang siap menerkam mangsa. Hati Ji Ciangkun seketika membeku. Jendral bertubuh besar itu seakan-akan menciut menjai kerdil karena ketakuan yang sangat. Dia sudah berusaha menyenangkan hati junjungannya untuk menutupi kesalahannya. Tetapi hati kecilnya tetap mengatakan bahwa dia juga akan bernasib sama dengan kedua bawahannya itu.
    Melihat gelagat yang buruk itu, Ji Ciangkun buru-buru berlutut di depan sang Mentri. Wajahnya pucat pasi.
    ”Ampun, Tuanku. Aku tahu aku sudah melakukan kesalahan besar. Mohon Tuanku memberikan kesempatan bagiku untuk menebus kesalahan. Berbelas kasihlah pada hambamu yang hima ini.”
    Senyuman sang Mentri semakin dingin. Dalam pandangan Ji Ciangkun, Mentri itu menjadi malaikat pencabut nyawa. Dia terus memohon-mohon sampai dahinya menyentuh tanah, berharap nyawanya diampuni. Tetapi sang Mentri tetap diam saja. Akhrinya sadarlah Ji Ciangkun, buru-buru ia menggerakkan tangannya mencungkil mata kanannya kemudian mata yang masih berlumuran darah itu dipersembahkan pada sang Menteri.
    ”Tuanku, aku mempunyai mata, tetapi tetap kehilangan tahanan. Tidak ada gunannya aku memiliki mata. Aku berikan mataku ini pada Tuanku. Aku mohon kemurahan hati Tuanku untuk meminjamkan mata kiri ini padaku untuk menyelesaikan tugasku menghantarkan tahanan kepada Tuanku. Setelah itu, mata kiriku akan kukembalikan kepada Tuan.”
    Pemandangan yang cukup mengerikan bagi sebagian besar orang tetapi bagi sang Mentri itu biasa-biasa saja. Dengan santai, dia menerima mata kanan Ji Ciangkun yang masih berlumuran darah itu, kemudian ditelannya bulat-bulat. Setelah menelan mata itu, wajahnya menjadi biasa lagi. Senyuman puas kembali tergambar pada wajahnya.
    ”Aku tunggu pasangannya dalam tempo satu minggu. Bila tidak berhasil, bukan matamu yang aku telan, tetapi hatimu. Mengerti?”
    ”Terima kasih atas kemurahan hati Tuan.”
    ”Sekarang kembali ke tempatmu. Tunggu kabar dariku tentang keberadaan Pek I Kiamhiap tersebut. Pergi dari sini! Jangan mengotori halaman rumahku dengan darahmu yang bau itu.”
    Selesai berkata-kata, tanpa menunggu jawaban lagi, sang Mentri berbalik badan langsung menuju ke rumahnya.
    ”Siap, laksanakan!”
    Ji Ciangkun membersihkan darah yang menetes di lantai dengan lidahnya. Setelah bersih semua dia bangkit berdiri menuju ke ruangannya.
    Setiap orang takut mati. Tidak terkecuali Ji Ciangkun. Jendral berbadan tinggi besar dengan ilmu silat yang tinggi juga rela menukar kedua mata dan kehorrmatannya demi nyawanya. Betapa kerdil jiwanya itu. Dia takut mati. Kedua anak buahnya juga takut mati, tetapi dia dengan sombongnya tidak memberi kesempatan kepada anak buahnya untuk hidup. Begitulah sifat manusia. Yang penting hanya aku, bukan orang lain. Untuk menyelamatkan diri sendiri, manusia tidak segan-segan untuk menghabisi nyawa orang lain, bahkan sahabat atau keluarga. Menyelamatkan diri sendiri itu penting tetapi kalau sampai mengorbankan orang lain, rasanya itu tidak dapat dibenarkan.
    Di atas langit ada langit, pepatah yang sangat tepat untuk menggambarkan keadaan manusia. Pada saat kita berada di atas, jangan mudah menghakimi, bahkan menghukum bawahan kita karena di atas kita, masih ada orang lain. Jangan pernah menganggap diri sendiri hebat. Walaupun berilmu tinggi, Wei Nan tidak pernah mmenganggap dirinya hebat. Hal inilah yang menyebabkan semua tokoh dunia persilatan baik golongan putih maupun hitam, kedua partai ataupun pemula sangant menghormatinya. Tidak ada yang menganggap dirinya masih muda atau kurang pengalaman.
    Pada saat sang Mentri masuk kembali ke ruangannya, tampaklah seekor merpati pos bertengger di jendela. Itulah merpati dari si pedagang kuda. Sang Mentri segera mengambil pesan yang dibawa burung tersebut dan membacanya. Selesai membaca, kepalanya menangguk-angguk puas, senyum yang dari tadi menghlang dari wajahnya sudah terlihat kembali. Segera dia membalas pesan itu lalu melepaskan merpati tersebut.
    ’Tidak disangka Dewa sedang memberkatiku. Baru saja kehilangan tahanan, sudah ditemukan kembali. Baiklah, antara dua desa itu, perasaanku lebih condong ke desa Pek Sha bun. Tim dua walaupun tidak becus mengawal tahanan, tetapi untuk pekerjaan membunuh dan merampas, mereka paling baik. Aku putuskan tim dua ke Pek Sha bun. Tetapi tim empat membayangi secara diam-diam. Tim tiga menuju ke Sa Hoa bun.’
    Setelah berpikir demikian, sang Mentri segera memanggil pelayannya dan memberitahukan hal–hal yang harus dilakukan. Selang sepeminuman teh, Ji Ciangkun sudah datang menghadap. Sang Mentri menjelaskan secara terperinci rencana yang sudah dibuatnya.
    ”Ji Ciankun, ini adalah kesempatan terakhirmu. Lakukan dengan benar atau kepalamu pindah ke lantai.”
    ”Siap, Tuan mentri. Akan kubereskan Pek I Kiamhiap untuk membalaskan dendam kedua anak buahku. Ijin meninggalkan ruangan untuk melaksanakan tugas.”
    ”Ijin diberikan.”
    Ji Ciangkun meninggalkan ruangan dengan badan tegap. Sang Mentri mengawasi sambil berpikir,’Bawahanku yang paling setia dan paling bodoh.’

  4. #44
    Junior Member
    Join Date
    Jun 2008
    Posts
    22

    Default ch. 9 finished

    Rahasia Peta Harta Karun ch. 9 finished.

  5. #45
    Junior Member
    Join Date
    Jun 2008
    Posts
    22

    Default

    Ch. 10
    Sementara itu, sekelompok orang berpakaian hitam-hitam tampak mendekati desa Pek Sha bun. Mereka meninggalkan tunggangan mereka pada jarak sepuluh tombak dari gerbang desa. Langkah mereka ringan dan tegap, teratur membentuk formasi lian hoa tin (barisan bunga teratai). Orang-orang berpakaian hitam-hitam tersebut adalah pasukan pimpinan Ji Ciangkun yang sangat hebat ilmu silatnya. Informasi terakhir yang mereka dapatkan adalah ada dua orang penunggang kuda pria dan wanita yang singgah di kedai minum dan melanjutkan perjalanan ke arah desa Pek Sha bun. Ji Ciangkun sudah mengirim mata-mata untuk mengamati keadaan di dalam desa dan mendapat kabar bahwa Pek I kiamhiap benar bermalam di penginapan desa tersebut.
    Sebagai seorang yang hebat ilmu silatnya, Ji Ciangkun juga hebat dalam mengatur barisan anak buahnya. Tugas menangkap atau melenyapkan orang selalu dapat diselesaikan dengan baik. Dia memilih barisan bunga teratai karena menyadari bahwa lawannya sangat tangguh dan tidak ingin lawannya berhasil melarikan diri.
    Pada saat bulan tepat berada di atas, mereka mulai bergerak mengepung penginapan itu. Gerakan mereka sangat cepat dan rapi sehingga seorang Wei Nan pun terlambat menyadari adanya gerakan musuh di luar penginapan. Dia baru sadar tepat pada saat penginapan sudah terkepung oleh orang-orang berpakaian hitam-hitam itu.
    Tetapi bukan Wei Nan namanya kalau dalam situasi seperti itu saja sudah panik dan hilang akal. Sambil tetap waspada akan gerakan musuh selanjutnya, dia menggenggam sarung pedangnya dan membangunkan Ciok Lan yang sedang tidur. Alangkah kagetnya pendekar kita ini karena dilihatnya Ciok Lan sudah terjaga dan dalam keadaan waspada juga. Maka dengan menggunakan tenaga dalamnya dia mengirimkan suaranya ke telinga Ciok Lan.
    ”Waspada, kita sudah terkepung musuh.”
    Bertambah kagetlah Wei Nan karena gadis muda ini dapat menjawab dengan cara yang sama, walaupun suaranya agak bergetar, tanda tenaga dalamnya masih di bawah Wei Nan.
    ”Aku sudah tahu koko. Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita tunggu mereka atau kita yang mulai?”
    Dalam situasi genting seperti ini, Wei Nan harus cepat mengambil keputusan.
    ”Senjata apa yang paling kamu kuasai? Apakah mau pinjam pedangku?”
    ”Aku sudah menyiapkan senjataku dari tadi siang koko. Masih ingat waktu aku mengatakan panas sekali udara siang ini?” Ciok Lan tersenyum.
    ”Baiklah, mari kita dahului mereka, aku turun dahulu ya.”
    ”Siap ciangkun-koko.”
    Kali ini Wei Nan mengambil keputusan untuk menghabisi para pengepungnya. Karena jika dibiarkan hidup, mereka akan terus dikejar-kejar. Maka dengan menghunus pedangnya, dia melompat keluar jendela. Sebelum menyentuh tanah, Wei Nan sudah memainkan jurus pedang ’Seratus Pedang Memburu Angin’. Pedangnya bergerak cepat mengarah ke bawah, membuat para pengepungnya yang menunggu di bawah kerepotan menangkis hujan pedang pendekar kita ini. Begitu sampai di tanah, Wei Nan langsung menyerang lagi dengan jurus ’Bayangan Pedang di Delapan Penjuru Angin’ membuat keenam belas anak buah Ji Ciangkun terpaksa murka Pek I kiamhiap.
    Selang beberapa saat, Ciok Lan juga meloncat didahului dengan gerakan ’Burung Walet Mencari Ulat’. Kipasnya dirapatkan mengincar ubun-ubun para pengepungnya. Tetapi karena jarang digunakan maka gerakannya agak kaku. Para pengepungnya dengan mudah menghindar bahkan berbalik menyerang gadis itu. Sebagai seorang ahli senjata pendek dan lemas, Ciok Lan memiliki ginkang yang sangat tinggi. Bagaikan burung walet dia meliuk-liuk di tengah-tengah sambaran pedang lawan sambil tetap mengirimkan totokan-totokan dari ujung kipasnya.
    Maka terbagilah kancah pertempuran menjadi dua kelompok. Kelompok pertama antara Wei Nan dengan enam belas anak buah Ji Ciangkun dan kelompok yang lain adalah Ciok Lan dikeroyok empat orang yang lain. Ji Ciangkun masih mengamati jalannya pertempuran, dia yakin pihaknya pasti menang.
    Hebat sekali serangan-serangan yang dilancarkan Wei Nan. Murid kesayangan Hok Hong Koayjin ini memang tidak malu mendapat pujian sebagai pendekar pedang tanpa tanding. Permainan pedangnya secepat angin. Baru sepuluh jurus dimainkan sudah ada seorang musuhnya yang tertusuk pedang hingga terluka parah. Lima belas orang teman-temannya terkejut akan kedasyatan pedang Wei Nan. Mereka berteriak marah dan semakin cepat memutar senjata masing-masing. Tetapi lawannya adalah pewaris tunggal Hok Hong Kiam Hoat. Sesuai dengan namanya semakin cepat lawan bergerak, semakin cepat pula pedang pendekar kita ini bergerak. Seolah-olah terjadi angin puyuh di halaman penginapan itu.
    Lewat dua jurus kemudian seorang pengeroyoknya karena lengah terkena tebasan pedang di tenggorokannya, mati. Melihat dua orang pengeroyoknya tumbang, Wei Nan semakin mengganas. Pedangnya seperti berubah menjadi ribuan cahaya yang siap menebas atau menusuk lawannya. Setelah ke dua puluh lima jurus Hok Hong Kiam Hoat selesai dimainkan maka pengeroyoknya tinggal delapan orang saja. Hebat sekali sepak terjang pria berbaju putih ini.
    Di pertempuran lain, Ciok Lan memainkan kipasnya dengan jurus-jurus yang diajarkan kakeknya, Tui Pan Wu San Hoat (ilmu kipas pengejar mustika). Ilmu tersebut adalah gubahan dari ilmu andalan kakeknya ilmu silat tangan kosong Cakar Naga Berebut Mustika. Untuk menguasai ilmu ini dibutuhkan tenaga dalam yang sangat kuat, sedangkan Ciok Lan hanyalah seorang gadis remaja. Untuk menambal kekurangannya, sang kakek mengubah gerakannya menjadi menotok bukannya memukul. Makanya bagian yang diincar kipasnya adalah titik-titik yang mematikan seperti tenggorokan, ubun-ubun kepala, jantung, dan alat kemaluan.
    Sayang sekali jurus-jurus yang hebat itu jarang dilatih oleh Ciok Lan, apalagi dipakai dalam pertempuran yang sesungguhnya. Inilah kali pertama dia bertempur melawan musuh yang sebenarnya, sehingga sampai belasan jurus dia belum berhasil mendesak, bahkan merobohkan pengeroyoknya.
    ”HHIIIAATTTT!!” Ji Ciangkun berteriak dengan suara nyaring, mencabut pedang besarnya dan menyerang Wei Nan.
    Sebelum menjadi tentara kerajaan, Ji Ciangkun dikenal sebagai pendekar yang aneh. Dia tidak mau disebut golongan putih tetapi tidak dapat disebut golongan hitam juga. Tindak-tanduknya sesuai dengan kehendak hatinya. Satu hal yang selalu dipegang olehnya adalah tidak boleh merampok dan membunuh untuk kesenangan semata.
    Pada satu saat, Ji Ciangkun berencana merampok iring-iringan anak angkat dari Perdana Mentri kerajaan. Apa mau dikata, iring-iringan itu dikawal oleh Ti Ciangkun yang berilmu tinggi. Ji Ciangkun berhasil ditangkap dan dibawa kehadapan sang Perdana Mentri. Saat bertemu dan menatap mata Tuan Perdana Mentri yang sangat berwibawa, hatinya langsung takluk dan detik itu juga dia menyatakan hidupnya dipersembahkan pada Tuannya tersebut.
    Ilmu pedang andalan Ji Ciangkun adalah Chi Lang Kiam Hoat (ilmu pedang pemecah ombak). Ilmu yang sangat membutuhkan tenaga luar. Sangat cocok dengan perawakannya yang tinggi besar dan pedang besarnya.
    Saat Ji Ciangkun ikut menyerang Wei Nan barulah pertempuran menjadi seimbang. Wei Nan bahkan mulai terdesak mundur. Cepat-cepat dia mainkan pedangnya membentuk pusaran angin yang kuat dan rapat. Sesekali ujung pedangnya mencuat keluar mencari mangsa. Beberapa kali anak buah Ji Ciangkun terkena sabetan pedang sehingga gerakan mereka menjadi melambat. Hal ini sangat merepotkan Ji Ciangkun. Sambaran pedangnya beberapa kali terpaksa ditahan atau bahkan dibelokkan karena hampir mengenai anak buahnya sendiri. Akhirnya habis juga kesabarannya.
    ”Kalian semua bereskan buronan kita. Orang ini adalah bagianku!”
    Segera saja para pengeroyok Wei Nan menarik serangan-serangan mereka, tetapi sebelum mereka dapat menarik diri dari medan pertempuran Pek I kiamhiap segera mengirimkan serangan bertubi-tubi untuk tetap mengikat para pengeroyoknya.
    ”Kau takut menghadapi aku? Untuk apa menahan anak buahku yang tidak becus berkelahi itu? Mari kita berduel sampai ada kepastian siapa yang unggul.” Ji Ciangkun memancing emosi pendekar kita.
    Sebagai orang yang memiliki pengalaman bertempur yang banyak, Wei Nan tidak mudah untuk terbawa emosi. Permainan pedangnya tetap kuat dan rapi. Cuma kalau diperhatikan dengan seksama terlihatlah bahwa ekor matanya selalu mengikuti perkembangan dari pertempuran yang lain.
    Ji Ciangkun masih mencoba berteriak-teriak untuk memecahkan konsentrasi lawannya. Tetapi pendekar kita ini tetap memutar pedangnya dengan cepat, menyerang para pengeroyoknya. Beberapa anak buah Ji Ciangkun mulai merasakan tekanan yang hebat, gerakan mereka menjadi kacau. Beberapa kali mereka hampir melukai teman mereka sendiri, bahkan pernah juga pedang dan tombak mereka hampir melukai pimpinan mereka. Ji Ciangkun sendiri juga menjadi kesal merasakan jalannya pertempuran.
    Tiba-tiba dia mendapat ide. Kenapa bukan dia saja yang keluar dari pertempuran itu dan menangkap gadis yang sudah merepotkannya. Maka mulailah dia merubah cara bertempurnya. Serangannya tidak lagi mengarah ke Wei Nan tetapi lebih untuk melndungi anak buahnya. Sesekali barulah dia mengincar titik-titik lemah dari lawannya tersebut. Sebenarnya itu hanyalah untuk mengaburkan siasatnya untuk meninggalkan arena pertempuran.
    Wei Nan sempat kaget melihat perubahan cara bertempur dari musuhnya yang bertubuh besar itu. Tetapi sebagai seorang yang sudah ribuan kali telibat dalam pertempuran, dia cepat menangkap maksud dari lawannya tersebut.
    ’Gawat nih. Ciok Lan dalam bahaya,’ pikirnya. ’Aku harus cepat-cepat melumpuhkan semua anak buah si raksasa ini.’
    WUT....WUT....WUT.... pedang Pek I kiamhiap mengeluarkan bunyi yang sangat keras, membuat hati lawan-lawannya menjadi goncang. Tidak berapa lama, TAK.... TAK....CRING....TRANG....ARGHH..... terdengar bunyi senjata beradu dan kesudahannya lima patahan tombak dan pedang jatuh ke tanah. Bukan hanya itu saja, tiga orang lainnya rubuh dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
    Kaget dan gentarlah lima anak buah Ji Ciangkun. Tanpa berjanji lebih dahulu, mereka membalikkan tubuh dan menghilang di kegelapan malam. Ji Ciangkun sendiri tertegun, melihat betapa delapan anak buah yang dilatihnya sendiri siang dan malam dengan mudahnya dibunuh dan dilumpuhkan oleh Pek I kiamhiap.
    ”Baiklah Pek I kiamhiap, aku adu jiwa denganmu. Dendam anak buahku harus dibayar lunas malam ini juga,” teriaknya nyaring. Sambil bicara, dia memutar pedangnya dengan lebih cepat. Suara pedangnya menderu-deru seperti angin memecah ombak di laut. Ilmu silat Ji Ciangkun ini bukanlah ilmu sembarangan. Ditambah lagi dia setiap hari selalu melatih ilmunya tersebut.
    Keadaan menjadi berbalik. Wei Nan terdesak hebat. Penekar kita ini sudah mulai kelelahan, sehingga dia hanya bisa memutar pedangnya rapat-rapat seperti gulungan angin puyuh. Berbeda dengan Ji Ciangkun yang mengandalkan tenaga luar, ilmu pedang Wei Nan sangat menguras tenaga dalam. Setiap jurusnya menyeot tenaga dalam yang tidak sedikit. Dengan bertahan, Wei Nan berusaha memulihkan kembali semangatnya.
    Ji Ciangkun mengamati keadaan lawannya ini sambil tersenyum dalam hati. ’Habislah kau sekarang tukang usil. Sebentar lagi akan kubunuh kau dan kuseret tahanan itu kepada Tuanku,’ pikirnya. Dia semakin cepat memainkan jurus-jurusnya supaya segera dapat menyelesaikan pertarungan ini.
    Pek I kiamhiap benar-benar terdesak. Tenaga dalamnya sudah terkuras. Untunglah pikirannya masih jernih. Dia menangkap sesuatu yang aneh pada diri lawannya. Tekanan pedangnya lebih kuat jika dia diserang bagian kanan. Tiba-tiba dia sadar. Lawannya ini penglihatannya terganggu, mata kanannya buta. Karena gelap dan dari tadi sibuk menghadapi serangan dari para pengeroyoknya, juga memikirkan keadaan Ciok Lan, Wei Nan tidak sempat mengamati keadaan lawannya. Hal yang tidak biasanya dia perbuat. ’Aku ceroboh,’ bisiknya dalam hati. ’Baiklah, akan kupusatkan serangan ke bagian kanan tubuhnya.’
    Ji Ciangkun terlalu napsu untuk menyudahi pertarungan ini sampai-sampai dia tidak menyadari perubahan gerak lawannya. Pedangnya tetap diputar kuat menyerang bagian kanan lawan. Benar dugaan Wei Nan, Ji Ciangkun agak sukar memusatkan serangan ke sebelah kanannya karena matanya tinggal yang kiri saja.
    Akhirnya, sepuluh jurus kemudian Wei Nan melihat celah di bagian kanan Ji Ciangkun. Cepat dia mainkan jurus ’seratus pedang mengejar bayangan’ dipusatkan pada pundak kanan lawan. Benarlah, Ji Ciangkun terlambat menarik pundaknya sehingga tergores pedang Wei Nan. Pada saat dia masih kaget, pendekar kita ini sudah melakukan serangan susulan, kali ini mengarah pada pangkal paha kanan. Ji Ciangkun hanya bisa menahan serangan tersebut dengan pedangnya. Tetapi ujung pedang yang sudah hampir menusuk pangkal paha Ji Ciangkun tiba-tiba berubah arah menuju tenggorokan dengan cepat. Ji Ciangkun hanya bisa memejamkan mata dan berkata dalam hati,’aku tidak dapat menunaikan tugasku.’
    Saat ujung pedang yang dingin itu menyentuh lehernya, Ji Ciangkun hanya bisa pasrah menunggu ajal. Tapi ternyata ujung pedang itu tidak terus menusuk lehernya.
    ”Saudara, atau lebih tepat Ciangkun. Anda sudah kalah. Suruh anak buahmu yang mengeroyok gadis itu mundur.”
    ”Baiklah. MUNDUR SEMUA!”
    Keempat pengeroyok Ciok Lan langsung menghentikan serangannya. Gadis muda itu tanpa disuruh lagi langsung melucuti senjata-senjata penyerangnya.
    ”Sekarang perintahkan anak buahmu pergi semua.”
    ”Kalian semua kembali dahulu. Nanti aku menyusul.”
    ”Baiklah Tuan,” keempat anak buahnya meninggalkan desa itu dengan kepala tertundk seperti ayam jantan yang kelah bertarung.
    Setelah mereka meninggalkan desa, barulah Wei Nan menarik pedangnya dan menyimpannya kembali. Demikian juga dengan Ciok Lan, kipasnya diselipkan kembali di pinggangnya. Setelah itu dia masuk ke dalam penginapan untuk berkemas.
    ”Aku sudah kalah. Silahkan bunuh, jangan menanyakan apa-apa kepadaku. Aku pasti tidak akan menjawab.”
    ”Ciangkun, aku bukan orang yang suka membunuh, apalagi lawan yang sudah menyerah. Dan aku juga tahu kesetiaanmu pada kerajaan, aku hanya minta kau lepaskan gadis ini.”
    ”Baiklah, aku janji tidak akan mencampuri urusan yang berhubungan dengan gadis ini. Tetapi aku tidak bisa menjanjikan bahwa rekan-rekanku juga akan melepaskan dia.”
    ”Itu sudah cukup. Sekarang aku mau pinjam dua ekor kudamu yang terbaik. Sie siaocia, sudah kau kemas semua barang-barang kita?”
    ”Sudah beres Hok tayhiap. Kita bisa berangkat kapan saja.”
    ”Baiklah, kita berangkat sekarang. Maafkan aku Ciangkun,” sambil berkata, tangannya bergerak cepat menotok Ji Ciangkun hingga orangnya pingsan.
    Dengan cepat mereka berdua meninggalkan penginapan itu dan memacu kudanya ke arah gunung Bin san.

Similar Threads

  1. PETA vs Bi (Rain)
    By pemberly in forum Entertainment News
    Replies: 17
    Last Post: 11-24-07, 05:25 PM

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •