Ch. 1
Hari belum lagi terang. Terlihat beberapa perahu nelayan mulai mendekati pantai. Beberapa yang lainnya sudah merapat ke pantai. Terdengar senda gurau para nelayan sambil mereka membersihkan jalanya dari ganggang dan rumput laut. Beberapa anak lari menghampiri perhau-perahu itu untuk membantu ayah mereka membawa ikan hasil tangkapan semalam. Terasa rukun dan damai kehidupan di desa nelayan itu. Tetapi manusia tidak dapat menduga peristiwa yang akan terjadi kemudian.
Tiba-tiba saja suasana yang damai dan penuh canda itu terhenti oleh suara derap kaki kuda yang menggemuruh mendekati desa itu. Para nelayan dengan dibantu oleh anak-anak cepat-cepat menarik perahu merka ke dataran yang lebih tinggi, lalu segera berlari menuju desa dengan penuh rasa ingin tahu. Setibanya di desa, mereka melihat dua puluh orang berkuda sudah menanti di tengah-tengah desa.
Melihat para nelayan sudah berkumpul, seorang penunggang kuda berbadan tinggi besar turun dari kuda dan bertanya dengan suara keras. “Dimanakah pemimpin desa ini?”
Para nelayan menjadi kurang senang atas sikap penunggang kuda tersebut. Seorang diantara mereka maju menghampiri dan bertanya, “Ada keperluan apa saudara datang ke desa ini?”
Sebelum yang ditanya menjawab, terdengar suara bentakan dari arah para penunggang kuda itu. “Jangan banyak bicara, tunjukkan saja dimana pimpinan kalian!”
Semakin tidak senanglah para nelayan tersebut. Serorang diantara mereka yang brangasan bergerak untuk menghampiri orang yang berkata tadi. Tetapi sebelum dia melangkah, lengannya dipegang oleh seorang laki-laki setengah umur.
Dengan cepat dia menengok dan laki-laki itu berkata dengan suara pelan, “Jangan terbawa emosi, orang-orang ini sengaja mencari keributan.”
Mukanya perlahan-lahan menjadi tenang kembali dan dia menjawab, “Terima kasih atas nasehat Bapak.”
Laki-laki itu tersenyum dan kemudia maju menghampiri rombongan penunggang kuda tersebut. Sebelum dia mengucapkan sesuatu, penunggang kuda yang berbadan tinggi besar itu sudah mendahului berkata, “Jadi andalah si kepala desa itu. Memang sesuai sekali.” Ucapan itu disambut dengan suara tertawa yang ramai dari rombongan penunggang kuda tersebut.
Tetapi laki-laki itu tetap berlaku tenang dan setelah suara tertawa itu mereda, dia berkata, “Memang sayalah kepala desa nelayan ini. Selamat datang di desa kami dan mohon maaf datas kekurang-ramahan kami dalam menyambut kedatangan Tuan-tuan sekalian.”
Orang asing itu menjawab, “Kami adalah orang kasar. Kami tidak butuh keramahan kalian semua. Sekarang, serahkan benda yang kami inginkan yaitu peta penyimpanan harta milik hartawan Ciu.”
“Cepat serahkan, atau kami akan mencarinya sendiri!” teriak seorang penunggang kuda yang lain. Kagetlah para penduduk desa nelayan itu. Mereka bingung mendengar tentang peta harta karun tersebut.
Salah seorang nelayan berkata, “Peta apakah yang Tuan maksudkan dan siapakah hartawan Ciu itu?”
“Jangan pura-pura bodoh nelayan tengik! Kalian pikir kami tidak tahu kalau seorang dari kalian adalah keturunan dari pelayan Ciu keparat itu,” bentak salah seorang penunggang kuda itu.
“Cepat berikan kepada kami atau nasib desa ini sama dengan desa-desa nelayan lainnya.”
Kepala desa berkata, “Kami sungguh tidak tahu-menahu soal peta hartawan Ciu yang Tuan maksudkan. Tetapi soal desa-desa nelayan yang Tuan-tuan hancurkan…, kami telah mengetahuinya. Jadi kalau kalian tidak percaya pada kami, kami terpaksa berlaku tidak ramah kepada kalian semua.”
“Baiklah, kalau itu yang kalian mau. Tapi ingat, kami tidak mengenal belas kasihan. Kawan-kawan, bersiaplah untuk melakukan penggeledahan,” kata orang yang berbadan tinggi besar itu.
Dia sendiri telah menghunus golok besar dan mengangkatnya tinggi-tinggi. “Karena kalian berani menantang, kami berikan waktu untuk kalian mempersiapkan senjata. Ingat, jangan coba-coba melarikan diri karena… he he he… tidak ada gunanya,” sambungnya sambil tertawa mengejek.
“Para wanita dan anak-anak silahkan masuk ke dalam rumah. Kunci pintu dan jangan ada yang keluar. Bapak-bapak sekalian, mari kita bela kehormatan kita dan desa ini sampai titik darah penghabisan,” kepala desa memberi perintah dan membangkitkan semangat para nelayan.
“Baiklah, kita lawan sampai mati!” Bergemuruh teriakan para nelayan yang sudah menyadari bahwa tidak ada jalan lain kecuali melawan kelompok penunggang kuda tersebut.
Maka berlangsunglah pertempuran yang tidak seimbang itu. Para penduduk desa mati-maian melawan dengan segenap kemampuan yang mereka miliki. Tetapi para penunggang kuda itu mempunyai ilmu silat yang hebat. Selang beberapa saat nampaklah mayat-mayat yang semuanya adalah penduduk desa. Beberapa orang yang masih hidup mulai runtuh semangatnya dan mengambil sikap untuk melarikan diri. Baru mereka membalikkan tubuh untuk lari, segera saja punggung mereka terasa sakit sekali dan kemudian tidak terasa apa-apa lagi, mati.
Apakah pertempuran sudah selesai? Ternyata masih ada seorang yang melakukan perlawanan. Kepala desa itu pernah menjadi murid Shaolin dan dia melakukan perlawanan yang hebat. Tongkatnya diputar menurut jurus ilmu tongkat Lohan. Beberapa kali tongkat itu beradu dengan golok si penunggang kuda berbadan besar yang ternyata memiliki ilmu silat yang tinggi. Sambil berkelahi dia melihat ke sekelilingnya dan terlihatlah pemandangan yang sangat menyedihkan hatinya. Dia berusaha mengendalikan emosinya tetapi tidak dapat. Akhirnya permainan tongkatnya menjadi kacau.
“Sudah, bunuh saja kepala desa itu. Sampai berapa lama lagi kamu akan mempermaikannya?” seru salah seorang penunggang kuda itu.
“Ayo, cepatlah! Kita masih harus menggeledah desa ini!” teriak yang lain. Tercekat hati si kepala desa. Rupanya lawan belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Saking gusarnya dia menghantamkan tongkatnya ke depan. Tetapi lawan bergerak lebih cepat memotong gerakan tangganya. Si kepala desa menjadi kaget dan berusaha menarik kembali tangannya. Sayangnya gerakannya terlambat sehingga mengucurlah dara dari lengan yang terpapas buntung oleh golok itu. Si penunggang kuda tidak berhenti sampai di situ. Goloknya diteruskan ke depan untuk memenggal leher dari sang lawan. Sedetik kemudian darah menyembur dari leher yang sudah tidak berkepala lagi.
Setelah mengalahkan kepala desa, berserulah ia, “Ayo, kita geledah desa ini! Bila bertemu manusia, langsung bunuh. Jangan buang-buang waktu, bos sudah sangat marah. Laksanakan segera!” Dia mendahului anak buahnya menghampiri rumah terdekat. Braak! Terdengar suara keras, pintu rumah itu ditendangnya hingga hancur berantakan. Tidak berapa lama terdengar bunyi pintu-pintu dihancurkan silih berganti diselingi dengan suara teriakan wanit dan anak-anak yang sangat menyayat hati orang yang mendengarnya. Tetapi bagi mereka itu sudah seperti suara musik yang merdu.
Tanpa terasa satu jam telah berlalu. Semua rumah sudah selesai digeledah, tetapi peta itu tidak juga ditemukan.
Akhirnya si pemimpin berkata, “Sudahlah, peta itu tidak ada di sini. Cepat kita bakar desa ini dan lapor ke bos.” Lima menit kemudian tampak asap tebal membubung tinggi dan lenyaplah desa nelayan yang damai itu. Hanya perahu-perahu saja yang menjadi saksi bisu kekejaman para penunggangg kuda itu.